BAB I
PENDAHULUAN
إن
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا
من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا
شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله . فقال تعالى : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُم مُسْلِمُونَ
(سورة آل عمران:102). أما بعد.
Allah SWT telah menetapkan secara
umum tentang tata kelola keuangan sebuah Negara. Melalui Rasul-Nya Muhammad
SAW, yang merupakan Kepala Negara Islam pertama telah terbukti bahwa apa yang
ditetapkan oleh Allah tersebut telah bisa menciptakan Negara yang sejahtera,
aman dan makmur, bahkan tidak hanya di dunia bahkan sampai ke akhirat.
Kalau melihat sejarah, pada
awal-awal pemerintahan Rasulullah di Madinah, pendapatan hampir tidak ada.
Namun, setelah diwajibkannya sedekah, zakat fitrah dan zakat mal maka
pendapatan Negara sudah mulai ada. Adapun sumber-sumber pendapatan Negara pada
masa Rasulullah SAW adalah kharaj, zakat (fitrah dan mal), ushr,
wakaf, infaq dan sedekah, amwal fadhla, Nawaib, khumus rikaz, jizyah,
ghanimah, fai, kaffarah, hadiah dan pinjaman baik dari muslim maupun
non-muslim. Sumber pendapatan ini jumlahnya terus bertambah pada masa-masa
selanjutnya sampai pada masa dimana para khalifah tidak lagi mencontoh
Rasulullah SAW dalam mengelola negaranya.
Oleh karena itu, para ekonom muslim
harus berusaha dengan giat menggali konsep-konsep serta praktek-praktek yang
telah dilakukan oleh para pendahulunya dan telah terbukti dalam kehidupan
nyata. Maka pada makalah ini penulis mencoba untuk membahas salah satu konsep
dari sumber pendapatan Negara Islam yaitu Anfal,Ghanimah, Fai dan Khumus.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ANFAL (الأنفال)
Anfal (الأنفال) secara bahasa adalah bentuk jama’ dari
kata nafal (النفل) yang berarti ghanimah (harta
rampasan perang). Sebagaimana Allah SWT berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنفَالِ قُلِ
الْأَنفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ (الأنفال: 1)
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian)
harta rampasan perang, Katakanlah: "Harta rampasan perang
kepunyaan Allah dan Rasul”. (QS. Al-Anfal: 1)
Ayat diatas menerangkan tentang
hukum pembagian harta rampasan perang, karena harta rampasan perang pada
masa-masa sebelumnya diharamkan. Adapun arti anfal (الأنفال) jika berasal dari nafl
(النفل) dengan mensukunkan huruf fa’
adalah tambahan (الزيادة). Dinamakan ghanimah dengan anfal, karena
kaum muslimin telah diutamakan dari umat yang lain dengan dihalalkannya
ghanimah bagi mereka[1],
dan juga karena ghanimah merupakan tambahan bagi orang yang berjihad selain
pahala yang dijanjikan[2].
1.
Ghanimah (الغنيمة). Ini adalah pendapat
Ibnu Abbas (dalam salah satu riwayat), Mujahid (dalam salah satu riwayat),
Adh-Dhahhak, Qatadah, Ikrimah dan ‘Atha’(dalam salah satu riwayat).
2.
Fai (الفيء). Ini adalah salah satu pendapat Ibnu
Abbas dan Atha’.
3.
Khumus (الخمس). Ini merupakan salah satu pendapat dari
Mujahid.
4.
Tanfil (التنفيل). Tanfil adalah harta ghanimah yang
diambil oleh imam sebelum dikumpulkan dan dibagi di Dar Al-Islam, jika setelah
pengumpulan dan pembagian maka tanfil tidak boleh lagi kecuali diambil dari
khumus. Tanfil tersebut diberikan kepada prajurit yang berhasil mengalahkan
musuh lebih banyak dari yang lain.
5.
Salab (السلب). Salab adalah bagian yang diberikan
kepada prajurit sebagai tambahan dari pembagian ghanimah untuk memberikan semangat
dalam berperang. Bagian tersebut adalah harta orang yang dibunuhnya, seperti
pedang, tameng, pakaian dan lain sebagainya.
Namun secara umum defenisi anfal (الأنفال) adalah harta-harta
musuh yang diperoleh oleh kaum muslimin baik melalui peperangan maupun tidak.
Ibnu Al-‘Araby mengatakan bahwa para ulama telah menyebutkan nama untuk harta
rampasan perang dengan tiga nama yaitu anfal, ghanimah dan fai[4].
Ada juga yang mendefenisikan anfal
dengan harta yang diserahkan oleh orang kafir supaya umat Islam tidak memerangi
mereka, seperti juga dengan harta yang diambil tanpa ada ancaman, seperti
jizyah, kharaj, ‘ushr, harta orang murtad dan harta orang kafir yang mati atau
orang yang tidak punya ahli waris[5].
Dalam makalah ini, yang akan dibahas
adalah ghanimah, fai dan khumus. Karena tiga hal ini berhubungan lansung dengan
masalah pendapatan Negara. Adapun ghanimah dan fai adalah sumber pendapatan
Negara untuk menjaga kemaslahatan kaum muslimin, sedangkan khumus adalah cara
pembagian ghanimah dan fai. Tanfil dan salab hanya berhubungan dengan
pendapatan atau pembagian untuk seseorang saja[6].
B.
GHANIMAH (الغنيمة)
1.
Pengertian Ghanimah
Ada beberapa lafazh yang digunakan
untuk menyebutkan istilah ghanimah yaitu maghnam (المغنم), ghanim (الغنيم), dan ghunmu (الغنم). Bentuk jama’ dari
ghanimah adalah ghanaim (غنائم), sedangkan maghnam bentuk jama’nya adalah
maghanim (مغانم). Adapun maknanya secara bahasa adalah al-fauzu/الفوز (kemenangan)[7].
Ghanimah juga bermakna fai[8],
keuntungan (الربح) dan kelebihan (الفضل)[9].
Adapun defenisi ghanimah secara
istilah adalah harta musuh yang diambil dengan cara paksaan dan melalui
peperangan[10].
Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa pengambilan dengan cara paksaan tidak terjadi
kecuali dengan kekuatan, baik secara hakiki atau dengan dalalah, artinya
izin dari Imam[11].
Sedangkan ulama Syafi’iyah mendefenisikan ghanimah yaitu harta yang diambil
oleh kaum muslimin dari orang kafir dengan menunggang kuda dan unta[12].
Ar-Rafi’i mengatakan bahwa dalam kitab At-Tahzib disebutkan bahwa sama saja
apakah harta itu diambil dengan cara paksa atau karena mereka kalah dan
meninggalkan hartanya[13].
2.
Landasan Hukum
Ghanimah adalah salah satu dari
keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah atas umat-umat yang lain.
Nabi SAW bersabda,
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ
أَحَدٌ قَبْلِى نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ ، وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ
مَسْجِدًا وَطَهُورًا ، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِى أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ
فَلْيُصَلِّ ، وَأُحِلَّتْ لِىَ الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لأَحَدٍ قَبْلِى ،
وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ ، وَكَانَ النَّبِىُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً
، وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري)
ِArtinya: “Aku telah diberikan lima hal yang tidak diberikan
kepada seorang pun sebelumku, aku dimenangkan dengan perasaan takut (dalam diri
musuh) sejauh satu bulan perjalanan, bumi dijadikan bagiku masjid dan suci maka
siapapun yang mendapati waktu sholat maka hendaklah ia sholat, ghanimah
dihalalkan bagiku dan tidak dihalalkan bagi seorangpun sebelumku, aku diberikan
syafaat, Nabi hanya diutus pada kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk
seluruh manusia”. (HR. Bukhari)[14]
Pada awalnya, pembagian ghanimah
ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Kemudian turunlah firman Allah SWT yang
menjelaskan tentang ketentuan dalam pembagian ghanimah tersebut,
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن
شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ
وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ (الأنفال: 41)
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat
kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah,
Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil”. (QS. Al-Anfal:
41)
Dalam ayat ini telah ditetapkan
bahwa yang dibagikan kepada pasukan hanyalah 4/5 dari harta ghanimah, adapun
sisanya (1/5) untuk selain mereka sebagaimana dalam ayat di atas. Ghanimah
pertama yang dikenakan ketentuan menarik seperlima oleh Rasulullah SAW setelah
perang Badr adalah ghanimah perang Bani Qainuqa’[15].
3.
Macam-Macam Ghanimah
Tidak semua harta yang diambil dari
orang kafir adalah ghanimah. Ada beberapa macam harta yang masuk dalam kategori
ghanimah[16],
yaitu:
a.
Harta yang dapat dipindahkan (الأموال المنقولة), seperti uang, makanan dan
hewan.
Setiap harta yang dapat dipindahkan
terhitung sebagai ghanimah jika diambil dari musuh di dar al-harb dengan
kekuatan militer.
b.
Tanah
Tanah yang didapatkan melalui
peperangan terbagi kepada tiga macam yaitu:
-
Tanah yang diperoleh dengan paksaan
Para ulama berbeda pendapat tentang
dibagi atau tidaknya tanah ini. Abu Hanifah berpendapat bahwa Imam boleh
memilih antara membagikannya atau tetap diolah oleh sipemiliknya dengan
membayar kharaj. Imam Malik berpendapat tanah tersebut tidak dibagi, namun menjadi
harat waqaf untuk kaum muslimin. Adapun Asy-Syafi’i mengatakan tetap dibagi
sebagaimana harta yang dapat dipindahkan. Sedangkan Ahmad setuju dengan
pendapat Abu Hanifah dan Malik.
-
Tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya karena takut
Tanah yang seperti ini akan menjadi
waqaf, karena bukan ghanimah dan hukumnya adalah hokum fai.
-
Tanah yang diperoleh dengan cara damai antara Imam atau wakilnya
dengan musuh.
Tanah ini boleh menjadi milik kaum
muslimin dan pemilik tanah sebagai pengolah tanah tersebut dan harus membayar
kharaj. Dan boleh juga tanah ini tetap dimiliki oleh pemilik tanah dengan
membayar kharaj. Kharaj tersebut statusnya adalah sebagai jizyah, maka ketika
pemilik tanah itu masuk Islam maka kewajiban membayar kharaj menjadi gugur.
c.
Tebusan tawanan
Tebusan tawanan termasuk ghanimah,
karena Nabi SAW telah membagikan tebusan tawanan perang Badr. Setiap harta yang
diperoleh dengan kekuatan militer sama dengan harta yang diperoleh dengan
senjata. Adapun hadiah yang diberikan oleh musuh di dar al-harb kepada seorang
tentara muslim adalah termasuk ghanimah, karena hal tersebut terjadi disebabkan
perasaan takut. Namun jika hadiah diberikan di dar al-Islam, maka hadiah itu
adalah menjadi milik si penerima hadiah.
d.
Salab
Para ulama telah sepakat bahwa salab
termasuk harta yang dikhumus, namun mereka berbeda pendapat tentang salab bagi
pembunuhnya. Mayoritas ulama mengatakan tidak dikhumus, mereka berdalil dengan
hadits
مَنْ قَتَلَ قَتِيلاً لَهُ عَلَيْهِ
بَيِّنَةٌ فَلَهُ سَلَبُهُ
Artinya: “Barang
siapa yang membunuh musuhnya, serta memiliki bukti maka salabnya adalah
miliknya” (HR. Bukhari)
Dan juga ucapan Umar RA, “Dahulu
kami tidak mengkhumus salab”.
e.
Nafl.
Para fuqaha’ berbeda pendapat apakah
nafl termasuk ghanimah, maka ada yang berpendapat bahwa nafl asalnya adalah
ghanimah, 4/5 ghanimah, 1/5 ghanimah atau 5/5 ghanimah.
f.
Harta para bughat (pemberontak)
Ulama sepakat bahwa harta para
pemberontak tidak termasuk ghanimah, tidak dibagi dan tidak boleh merusaknya.
Akan tetapi dikembalikan kepada mereka setelah bertobat.
g.
Harta muslim yang diperoleh kembali setelah dirampas oleh musuh
Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa
harta tersebut termasuk ghanimah. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat
jika ditemukan barang/benda yang diketahui pemiliknya apakah diberikan sebelum
atau sesudah pembagian atau dibayar nilainya saja. Fuqaha’ sepakat jika sebelum
dibagikan pemilik benda tersebut telah diketahui, maka benda itu dikembalikan
kepadanya. Namun jika pemiliknya diketahui setelah pembagian, Hanafiyah dan
salah satu riwayat dari Imam Ahmad menyebutkan bahwa yang diberikan adalah
nilai atau harganya yang dibayar oleh orang yang mendapatkannya (orang yang
mendapat bagian dari benda tersebut). Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwa benda
tersebut baik pemilik muslim atau dzimmy tidak boleh dibagi, jika telah terjadi
pembagian maka pembagian tersebut tidak sah dan pemiliknya mengambil
benda/barang itu. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa harta/benda tersebut
dikembalikan kepada pemiliknya, sedangkan orang yang mendapatkan bagian berupa
benda tersebut diberikan ganti dari bagian 5/5 (khumus yang telah dibagi lima),
karena tidak mungkin untuk membatalkan pembagian yang telah terlaksanakan.
Adapun Imam Al-Mawardi menjelaskan
bahwa ghanimah itu ada empat macam yaitu harta, tanah, tawanan perang[17] (أسرى), dan tawanan anak-anak
atau wanita (السبي). Untuk tawanan perang, para ulama telah
sepakat bahwa hal tersebut diserahkan kepada kebijakan – yang memberikan
kemaslahatan pada kaum muslimin – Imam atau orang yang diberikan wewenang untuk
memimpin jihad apabila tawanan tersebut tetap dalam kekafirannya. Syafi’I
menyebutkan kebijakan itu adalah 1) dibunuh, 2) dijadikan hamba sahaya, 3)
ditebus atau pertukaran tawanan dan 4) diberikan amnesty. Sedangkan Malik
memberikan kebijakan yaitu dibunuh, dijadikan hamba sahaya dan pertukaran
tawanan. Adapun Abu Hanifah mengatakan bahwa kebijakan tersebut hanyalah
dibunuh atau dijadikan hamba sahaya[18].
Tawanan anak-anak dan wanita tidak
boleh dibunuh jika mereka termasuk ahlul kitab. Sedangkan selain ahlul kitab,
Syafi’I berpendapat jika menolak masuk Islam maka dibunuh, sedangkan Abu
Hanifah berpendapat dijadikan hamba sahaya dan saat dijadikan hamba sahaya,
seorang ibu tidak boleh dipisahkan dari anaknya yang masih kecil[19].
4.
Pembagian Ghanimah
a.
Waktu dan tempat pembagian
Rampasan perang dibagikan apabila
peperangan telah selesai dengan sempurna. Karena dengan selesainya perang itu
baru dapat diketahui jumlah ghanimah yang akan dibagi dan juga supaya para
tentara tidak terpengaruh pemikirannya[20].
Untuk tempat pembagian ghanimah, ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa ghanimah tersebut dibagi di dar al-harb. Adapun Malikiyah
mensyaratkan jika kondisi aman dan yang mendapatkan ghanimah tersebut adalah
tentara[21]. Sedangkan
Abu Hanifah berpendapat bahwa ghanimah boleh dibagikan hanyalah ketika berada
di dar al-Islam[22].
Namun demikian, Al-Mawardi
mengatakan bahwa pembagian ghanimah boleh dilakukan segera di dar al-harb dan
boleh ditunda hingga sampai di dar al-Islam. Keputusan ini disesuaikan dengan
situasi dan kondisi paling baik dalam pandangan komandan pasukan[23].
b.
Orang-orang yang berhak mendapatkan bagian[24]
Orang yang berhak mendapatkan
ghanimah adalah orang-orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
-
Benar-benar ikut dalam peperangan.
Jika seseorang sakit sebelum
peperang usai, dan sakitnya tidak menghalangi dia untuk melanjutkan peperangan
maka tetap berhak menerima ghanimah. Namun, jika sakit tersebut menghalangi
untuk ikut berperang maka ia tidak dapat bagian, kecuali jika dia mampu
memberikan sumbangan pikiran atau ide untuk memenangkan peperangan.
-
Masuk ke dar al-harb dengan niat berperang.
Jika ada niat lain selain berperang,
maka orang tersebut tetap mendapat bagian dari ghanimah. Karena dengan
kehadirannya pasukan Islam terlihat lebih banyak sehingga musuh akan semakin
takut. Bagi orang yang hadir dalam peperangan setelah perang usai dan harta
telah terkumpul, maka dia tidak mendapatkan bagian. Tetapi bagi orang yang
hadir sebelum harta terkumpul dan perang telah usai, ulama Hanafiyah dan salah
satu pendapat Syafi’iyah menyebutkan bahwa orang tersebut diberikan bagian,
adapun pendapat yang benar menurut Syafi’iyah adalah orang tersebut tidak
mendapat bagian. Jika orang tersebut wafat setelah perang selesai dan ghanimah
belum terkumpul, maka menurut Syafi’iyah dan Hanabilah orang tersebut diberikan
bagian, sedangkan menurut Hanafiyah dan salah satu pandangan Syafi’iyah tidak
diberik bagian. Jika orang tersebut wafat dalam peperangan sebelum ghanimah
terkumpul satu pun, maka Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa orang itu
tidak mendapatkan bagian. Adapun orang yang diupah untuk menjaga binatang
(kendaraan), perlengkapan atau pedagang dan orang-orang yang memiliki keahlian
yang ikut dan peperangan, menurut ulama Syafi’iyah mereka diberikan bagian,
sedangkan dalam salah satu pendapatnya tidak mendapatkan bagian dengan alasan
bahwa mereka tersebut tidak berniat untuk berjihad.
-
Laki-laki.
-
Muslim.
-
Merdeka.
-
Berakal dan baligh.
c.
Cara pembagian
Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa
cara pembagian harta ghanimah diserahkan kepada Imam, sesuai dengan kebutuhan
dan kemaslahatan umat Islam. Beliau beralasan dengan pembagian harta ghanimah
pada perang Badr dan perang Hunain, QS. Al-Anfal: 1, dan perbuatan-perbuatan
Rasul SAW lainnya yang berkaitan dengan pembagian ghanimah[25].
Namun demikian, Al-Qurthuby telah
menjelaskan beberapa pendapat para ulama tentang QS. Al-Anfal: 41, di antaranya[26]:
-
Pendapat jumhur ulama bahwa ayat ini telah menasakh QS. Al-Anfal:
1. Ibnu Abdil Barr telah mengakui bahwa telah ada ijma’ tentang ayat ini yang
turun setelah QS. Al-Anfal: 1.
-
Pendapat yang diriwayatkan oleh Al-Marizy dari sebagian para ulama,
bahwa QS. Al-Anfal: 1 dinasakh dan bahkan muhkam artinya ghanimah itu diserahkan
kepada Rasulullah SAW dan tidak dibagikan kepada orang yang berhak, begitu juga
dengan Imam-imam setelah beliau. Pendapat ini dihujjahkan dengan kisah
penaklukan kota Mekkah dan perang Hunain.
Al-Qurthuby kemudian melemahkan
pendapat yang kedua ini, dengan menyampaikan beberapa hujjah[27]
yaitu:
-
Ketika Allah menyebutkan seperlima untuk orang-orang yang telah
ditetapkan, maka dipahami bahwa sisanya (4/5) adalah bagian yang lain
(ghanimin), hal ini sama dengan ketika Allah menyebutkan bagian ibu dalam
warisan yaitu sepertiga ketika mayat tidak punya anak (QS. An-Nisa’: 11),
sedangkan bagian ayah tidak disebutkan namun ulama sepakat bahwa bagian ayah
adalah 2/3. Adapun 4/5 untuk para ghanimin dari ghanimah adalah ijma’,
sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibn Al-Mundzir, Ibn Abdil Barr,
Ad-Dawudi, Al-Marizy, Al-Qadhy ‘Iyadh dan Ibn Al-‘Araby.
-
QS. Al-Anfal: 1, maknanya adalah sebelum pembagian (ini pendapat
Atha’ dan Al-Hasan), dan makna yang lain adalah ghanimah perang sarayah[28]
(ini pendapat Ibrahim An-Nakha’I, dan juga diriwayatkan dari Makhul dan
‘Atha’oleh Abu Amr).
-
Abu Ubaid membantah alasan dengan penaklukan kota Mekkah dari dua
segi, 1) Allah SWT mengkhususkan untuk Rasulullah SAW sebelum ditetapkan cara
pembagiannya, 2) Kota Mekkah tidak sama dengan kota-kota yang lain, dan Allah
beserta Rasul-Nya telah memberikan hukum khusus, begitu juga dengan kisah
Hunain, dimana Rasulullah SAW telah menjawab ucapan orang-orang Anshar, “Apakah
kalian ridho,bahwa manusia kembali dengan harta sedangkan kalian kembali dengan
Rasulullah SAW ke rumah-rumah kalian?”.
Adapun urutan untuk membagikan harta
ghanimah sebagai pedoman oleh Imam adalah sebagai berikut[29]:
-
Meberikan salab[30]
kepada yang berhak.
-
Menyerahkan harta orang muslim atau dzimmy jika pemiliknya diketahui.
-
Mengeluarkan biaya ghanimah, seperti upah tukang angkat, upah
penjaga dan akuntan.
-
Memberikan janji sayembara (ju’l) bagi orang yang berhak.
Setelah itu ghanimah dibagi kepada
lima bagian. Adapun yang seperlima dibagikan kepada Allah, Rasul, karib kerabat
Rasul SAW, anak yatim dan ibn as-sabil. Al-Mawardi menyebutkan pembagian ini
yaitu, 1) Rasul dan dipergunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin, 2) Keluarga
Nabi SAW dari Bani Hasyim dan Bani Muthallib, 3) Anak yatim, 4) Orang miskin,
dan 5) Ibn As-Sabil[31].
Selanjutnya adalah pembagian bagi kelompok penerima hadiah kecil (radakh/رضخ), walaupun ada sebagian
ulama mendahulukan mereka dari pembagian yang seperlima. Kelompok ini adalah
orang-orang yang ikut hadir dalam peperangan, namun tidak mendapatkan bagian
ghanimah. Mereka adalah hamba sahaya, wanita, anak-anak, dan orang yang sakit
keras. Adapun kafir dzimmi diberikan sesuai dengan sumbangsih mereka dalam
peperangan, namun hadiah bagi mereka lebih kecil dari jumlah yang diterima oleh
para prajurit muslim. Jika status kelompok ini berubah dalam kondisi perang,
seperti anak-anak baligh, hamba sahaya merdeka, kafir menjadi muslim, maka
mereka mendapatkan bagian yanh utuh[32].
Kemudian yang empat perlima
dibagikan kepada para pasukan yang berhak menerimanya, yaitu: Jumhur fuqaha’
menetapkan bahwa untuk satu tentara satu bagian, jika membawa kuda maka
mendapatkan tiga bagian (satu bagian untuk tentara dan dua bagian untuk kuda),
dengan alasan riwayat dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW telah memberikan untuk kuda
dua bagian dan untuk pemilik kuda satu bagian (HR. Bukhari). Sedangkan menurut
Abu Hanifah, orang tersebut hanya mendapat dua bagian (satu bagian untuk
tentara dan satu bagian untuk kuda), sebab orang lebih utama dari kuda, kuda
tidak bisa ikut berperang tanpa ada orang menungganginya dan juga biaya seorang
tentara lebih banyak dari seekor kuda. Perbedaan ini terjadi karena ada
beberapa riwayat yang saling bertentangan, dimana dalam satu riwayat Nabi SAW
memberikan bagian tentara yang memiliki kuda dua bagian dalam riwayat lain tiga
bagian[33].
5.
Hal-hal yang berhubungan dengan ghanimah
a.
Pemeliharaan ghanimah
Seorang panglima perang wajib
menjaga ghanimah, meskipun harus mengeluarkan biaya. Jika penjagaan itu
dilakukan oleh tentara, maka ia boleh mengambil upah tanpa menggugurkan bagian
ghanimahnya[34].
b.
Mencuri atau mengkorupsi (غلول) harta ghanimah
Harta yang diambil setelah
dikumpulkan adalah tindakan pencurian, dan jika diambil sebelum dikumpulkan
adalah tindakan korupsi (ghulul/khianat). Ghulul adalah dosa besar sebagaimana
firman Allah SWT,
وَمَن يَغْلُلْ
يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan
rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu”. (QS. Ali Imran: 161)
Tidak termasuk ghulul, jika
seseorang mengambil dengan sekedarnya apabila panglima perannya adalah orang
zalim dan tidak membagi secara syar’i.
c.
Hak orang yang tidak ikut dalam peperangan namun mempunyai
sumbangsih yang besar untuk kemaslahatan para tentara.
Misalnya adalah utusan, mata-mata
atau intelijen, penunjuk jalan, maka mereka ini berhak mendapatkan bagian
ghanimah walaupun mereka tidak ikut dalam kancah peperangan. Begitu juga jika
panglima membagi pasukan kepada dua kelompok, maka walaupun hanya satu kelompok
yang mendapatkan ghanimah namun kelompok lain juga mempunyai hak[35].
C.
FAI (الفيء)
1.
Pengertian Fai
Fai secara bahasa bermakna naungan (الظل), kumpulan (الجمع), kembali (الرجوع), ghanimah, kharaj, dan
sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada pemeluk agama-Nya yang berasal dari
harta-harta orang yang berbeda agama tanpa peperangan[36].
Adapun fai secara istilah adalah harta-harta yang didapatkan dari musuh dengan
cara damai tanpa peperangan, atau setelah berakhir peperangan seperti jizyah,
kharaj dan lain sebagainya[37].
Harta fai dengan harta ghanimah ada
kesamaan dari dua segi dan ada perbedaan dari dua segi pula. Segi persamaanya
adalah: Pertama, kedua harta itu didapatkan dari kalangan orang kafir, Kedua,
penerima bagian seperlima adalah sama. Adapun segi perbedaannya adalah: Pertama,
harta fai diberikan dengan suka rela, sementara ghanimah dengan paksaan, Kedua,
penggunaan empat perlima bagian dari harta fai berbeda penggunaannya dengan
empat perlima bagian dari ghanimah[38].
Muhammad Saddam mengemukakan Negara
mempuyai otoritas penuh dalam mengatur harta fai, maka kita dapat menyebutnya
sebagai pendapatan penuh Negara, karena keuntungan dari pendapatan fai dibagi
rata untuk kepentingan bersama dari seluruh populasi, maka Al-Ghazaly
mendefenisikannya sebagai amwal al-mashalih yaitu pendapatn untuk
kesejahteraan rakyat[39].
2.
Landasan Hukum
Fai disyariatkan melalui firman
Allah dan juga atsar[40].
Adapun firman Allah adalah,
وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ
رَسُولِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ
وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَىٰ مَن يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ. مَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ
السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنكُم (الحشر: 6-7)
Artinya: “Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
(dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan
seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan
kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan
Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota
maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. (QS. Al-Hasyr: 6-7)
Atsar dari Umar RA bahwa beliau berkata: “Dahulu
harta dari Bani Nadhir adalah fai yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya,
dan harta itu ada yang dikhususkan untuk beliau. Kemudian beliau mengeluarkan biaya hidup keluarga untuk satu tahun
sedangkan sisanya beliau jadikan untuk kuda dan senjata”. (HR. Bukhari).
3.
Sumber-Sumber Fai
Harta fai bersumber dari beberapa
jalan[41]
yaitu:
a.
Tanah dan harta yang tidak bergerak lainnya seperti rumah.
b.
Harta yang bisa dipindahkan.
c.
Kharaj
d.
Jizyah
e.
Ushur ahl adz-dzimmah
f.
Harta yang diperoleh oleh
kaum muslimin dari musuh untuk berdamai.
g.
Harta orang murtad jika terbunuh atau mati
h.
Harta kafir dzimmy jika mati dan tidak punya ahli waris.
i.
Tanah-tanah ghanimah artinya tanah-tanah pertanian bagi yang
berpendapat bahwa tanah tersebut tidak dibagi.
4.
Cara Pembagian Fai
Dalam pembagian harta fai para
fuqaha’ berbeda pendapat. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah serta Asy-Syafi’i dalam
qaul al-qadim dan juga Ahmad dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa
harta fai itu tidak dikhumus, bahkan semuanya diserahkan kepada Rasulullah SAW
dan orang yang telah disebut dalam firman Allah QS. Al-Hasyr: 7-10. Karena
dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan jumlah seperti seperlima. Ibn
Al-Mundzir berkata, “Kami tidak menghafal (pendapat) dari seorang pun
sebelum Asy-Syafi’i tentang adanya khumus pada harta fai sebagaimana pada
ghanimah” [42].
Imam Abu Hanifah juga berpendapat bahwa tidak khumus dalam fai[43].
Asy-Syafi’i dalam qaul al-jadid,
Muhammad Asy-Syaibany dan salah satu riwayat Ahmad menerangkan bahwa dalam fai
ada khumus[44].
Al-Mawardi juga berpendapat bahwa ada khumus pada harta fai, karena nash
Al-Quran tentang khumus dari harta fai akan mencegah terjadinya pertentangan.
Kemudian beliau merincikan pembagian tersebut sebagai berikut[45]:
a.
Seperlima dibagikan kepada:
-
Rasulullah SAW ketika masih hidup, untuk dipergunakan bagi
kebutuhan beliau, keluarga dan kaum muslimin. Namun setelah beliau wafat, para
ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa bagian tersebut jatuh ke
ahli waris beliau. Abu Tsaur berpendapat bahwa bagian tersebut jadi milik
Kepala Negara. Abu Hanifah berpendapat, bagian ini menjadi hilang. Asy-Syafi’i
berpendapat, bagian ini dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
-
Keluarga dan kerabat Nabi SAW. Abu Hanifah mengatakan bahwa bagian
ini telah ditiadakan, sedangkan menurut Asy-Syafi’i bagian ini tetap ada dan
diberikan kepada Bani Hasyim dan Bani Muthallib.
-
Anak-anak yatim
-
Orang miskin
-
Ibn as-sabil
b.
Untuk bagian empat perlima diserahkan kepada Rasulullah SAW ketika
beliau masih hidup, namun ketika beliau telah wafat maka ulama berbeda pendapat
yaitu:
-
Diberikan khusus untuk tentara.
-
Dipergunakan untuk keperluan dan kepentingan kaum muslimin.
Abdul Qadim Zallum juga mengemukakan
bahwa harta fai tersebut disimpan di Baitul Mal dan dibelanjakan untuk
mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin serta memelihara urusan-urusan mereka.
Ini dilakukan menurut pertimbangan Khalifah dan diyakini bahwa didalamnya
sungguh-sungguh terdapat kemaslahatan kaum muslimin[46].
Imam Bukhari meriwayatkan dalam bab Khumus,
bahwasanya Utsman, Abdurrahman bin ‘Auf, Zubair dan Sa’ad bin Abi Waqash
meminta izin kepada Umar untuk memasuki rumah kediaman Umar, dan Umar
mengizinkannya. Kemudian mereka duduk dengan tenang. Lalu datang Ali dan Abbas
yang juga meminta izin masuk, dan Umar mengizinkan mereka berdua. Ali dan Abbas
pun masuk, memberi salam lalu duduk. Abbas berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin berikanlah keputusan
antara aku dan orang ini (‘Ali ra)–kedua orang ini tengah
berselisih dalam hal fai’ yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw dari harta
bani Nadlir–.’ Mendengar hal itu, Utsman dan
sahabatnya berkata,” ‘Wahai Amirul Mukminin, buatlah keputusan
diantara mereka berdua agar satu sama lain bisa merasa puas.’
Berkatalah Umar: ‘Kusampaikan kepada kalian dan bersumpahlah
kalian dengan nama Allah yang dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi. Apakah
kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah berkata, “Segala sesuatu yang
kami tinggalkan tidak diwariskan tetapi menjadi shadaqah’, dan yang
Rasulullah saw maksudkan itu adalah beliau sendiri’ . Berkatalah mereka
semua, “Memang
benar beliau telah bersabda seperti itu.’ Maka Umar berpaling
kepada Ali dan Abbas seraya berkata, “Bersumpahlah kalian berdua dengan nama Allah,
tahukah kalian berdua bahwa Rasulullah saw telah bersabda seperti itu?’
Mereka berdua menjawab,“Memang benar beliau telah bersabda seperti
itu.” Berkatalah Umar, “‘Maka akan kukabarkan kepada kalian tentang hal
ini, yaitu bahwa Allah Swt telah mengkhususkan fai ini kepada RasulNya dan
tidak diberikan kepada seorang pun selain beliau”.’ Kemudian Umar
membacakan ayat: “Dan apa saja harta rampasan (fai) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka” –
sampai firman Allah - “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa terhadap
segala sesuatu”. Hal ini menunjukan bahwa fai ini benar-benar menjadi milik
Rasulullah saw. Dan demi Allah, harta tersebut dihindarkan dari kalian, tidak
diwariskan kepada kalian. Akan tetapi beliau telah memberikan sebagian dari
harta tersebut kepada kalian dan membagikannya di antara kalian, sedangkan
sisanya oleh Rasulullah saw dibelanjakan sebagian untuk keperluan keluarganya
selama setahun dan sisanya dijadikan oleh beliau tetap menjadi harta milik
Allah. Rasulullah telah melakukan hal tersebut selama hidupnya. Bersumpahlah
dengan nama Allah, apakah kalian mengetahui hal itu?’ Mereka semua
menjawab, ‘Ya.’
Selanjutnya Umar berkata: ‘Kemudian Allah mewafatkan Nab-Nya saw, dan
saat itu Abubakar berkata, ‘Aku adalah pengganti Rasulullah saw.’ Maka Abubakar
menahan harta tersebut dan kemudian melakukan tindakan seperti yang telah
dilakukan oleh Rasulullah saw. Dan Allah mengetahui bahwa dia (Abubakar) dalam
mengelola harta tersebut sungguh berada dalam sifat yang benar, baik, mengikuti
petunjuk serta mengikuti yang hak. Kemudian Allah mewafatkan Abubakar dan
akulah yang menjadi pengganti Abubakar. Akupun menahan harta tersebut selama
dua tahun dari masa pemerintahanku. Aku memperlakukan harta tersebut sesuai
dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah saw dan Abubakar. Selain itu Allah
mengetahui bahwa aku dalam mengelola harta tersebut berada dalam kebenaran,
kebaikan, mengikuti petunjuk dan kebenaran.”(HR. Imam Bukhari).
Atas dasar itu, harta fai’ yang
diperoleh kaum Muslim merupakan milik Allah, seperti halnya kharaj dan
jizyah.
Harta semacam ini disimpan di Baitul Maal dan dibelanjakan untuk mewujudkan
kemaslahatan kaum Muslim serta memelihara urusan-urusan mereka, berdasarkan
keputusan atau ijtihad seorang Khalifah.
5.
Karakteristik Petugas Fai[47]
Petugas fai selain harus memiliki
sifat amanah dan kredibilitas pribadi yang baik, ia juga harus mempunyai
karakteristik khusus sesuai dengan bidang yang dia tangani. Bidang atau tugas
yang ditangani tersebut ada tiga macam, yaitu:
a.
Penentu jumlah fai yang harus dipungut dan orang-orang yang berhak
mendapatkan bagian. Untuk bagian ini karakteristiknya adalah merdeka, Islam,
mujtahid, menguasai ilmu berhitung dan pengukuran luas tanah.
b.
Pengumpul seluruh harta fai. Petugas ini harus memiliki syarat
seperti pada bagian pertama kecuali mujtahid.
c.
Pengumpul satu jenis dari harta fai. Tugas ini jika dijalankan
secara resmi, maka petugasnya harus merdeka, Islam dan menguasai ilmu berhitung
dan pengukuran luas tanah. Jika tidak resmi maka bisa dilakukan oleh hamba
sahaya atau kafir dzimmi.
1.
Pengertian Khumus
Khumus (الخمس) secara bahasa bermakna
satu bagian dari yang lima atau seperlima, jika dilafazkan خمَّس – يخمِّس – تخميس maknanya adalah mengambil
seperlima[49].
Defenisi istilah adalah sama dengan definisi bahasa.
2.
Landasan Hukum
Para ulama sepakat bahwa wajib
dilaksanakan khumus pada ghanimah, dengan dalil firman Allah SWT dalam QS.
Al-Anfal: 41, namun mereka berbeda pendapat pada fai.
3.
Harta-Harta yang dikhumus
a.
Ghanimah
Fuqaha’ berbeda pendapat dalam hal
membagikan seperlima ghanimah kepada lima pendapat, 1) Syafi’iyah dan Hanabilah,
dibagikan kepada lima kelompok yaitu Pertama, Allah dan Rasul-Nya, Kedua,
Bani Hasyim dan Bani Muthallib, Ketiga, Anak Yatim, Keempat, Orang
miskin dan Kelima, Ibn As-Sabil. 2) Hanafiyah, dibagikan kepada tiga
kelompok saja, yaitu, Pertama, Anak Yatim, Kedua, Fakir miskin, Ketiga,
Ibn As-Sabil. 3) Malikiyah, tidak dibagikan tetapi Imam meletakkannya di
Baitul Mal atau digunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin dan bisa juga
diberikan kepada keluarga Nabi SAW dan yang lainnya. Jadi, khumus diserahkan
kepada ijtihad Imam, sebagaimana yang telah diamalkan oleh Khalifah
Ar-Rasyidin. 4) Dibagikan kepada enam kelompok, dengan memisahkan bagian Allah
dan Rasul-Nya. Bagian untuk Allah diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang
membutuhkan. 5) Abu ‘Aliyah berpendapat bahwa setelah ghaniah dibagi lima, dan
yang seperlima diambil oleh Imam. Dari yang seperlima itu Imam mengambil untuk
biaya pemeliharaan Ka’bah, kemudian setelah itu sisanya baru dibagikan kepada
lima kelompok. Maka yang dijadikan untuk Ka’bah tersebut adalah bagian Allah
SWT.
b.
Fai
c.
Salab
Untuk fai dan salab telah dijelaskan
bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal tersebut.
d.
Rikaz
Rikaz adalah harta yang terkubur
sejak zaman jahiliyah (Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanbilah) atau harta yang
ditanam di dalam bumi, baik diciptakan maupun diletakkan (Hanafiyah)[50].
Ulama sepakat bahwa harta rikaz wajib dikhumus, karena Nabi SAW telah bersabda,
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ (رواه
البخاري)
Artinya: “…… dan pada rikaz itu
ada khumus”. (HR. Bukhari).
BAB III
PENUTUP
Rasulullah SAW telah berhasil
menciptakan stabilitas ekonomi Negara Islam pada masanya. Sehingga Negara Islam
memiliki izzah yang tinggi dihadapan seluruh Negara-negara lain. Namun
keberhasilan Rasulullah SAW adalah dibawah bimbingan Allah SWT. Di antara
sumber pendapatan Negara pada waktu itu adalah ghanimah dan fai.
Ghanimah adalah rampasan perang yang
diperoleh melalui peperangan sedangkan fai adalah harta yang diperoleh dari
musuh tanpa melalui paksaan atau peperangan. Pada mulanya rampasan perang ini
tidak halalkan, namun Allah memberikan keutamaan kepada Rasulullah SAW dan
umatnya yaitu dengan menghalalkan rampasan perang tersebut. Ketika dihalalkan
itu, untuk pembagian diserahkan kepada Rasulullah SAW. Kemudian Allah SWT
memberikan panduan dalam tata kelola pembagiannya. Khusus untuk ghanimah semua
ulama sepakat bahwa khumus diwajibkan. Sedangkan untuk fai mereka berbeda
pendapat.
Dengan demikian, apabila Rasulullah
telah tiada maka para khalifah selanjutnya bisa untuk meneruskannya sebagaimana
yang telah dicontohkan oleh Khalifah Ar-Rasyidin, sehingga terwujud
kemaslahatan kaum muslimin.
Sebagaimana yang dikatakan oleh
Abdul Qadim Zallum, bahwa ghanimah dan fai pada saat ini haruslah disimpan di
Baitul Mal dan Kepala Negara diberikan amanah untuk mengelolanya dalam rangka
untuk menciptakan kemaslahatan bagi semua rakyat baik kemaslahatan di dunia dan
juga di akhirat (jika Khilafah Islamiyah telah berdiri). Selain ghanimah dan
fai ada sumber pendapatan lain bagi Negara yaitu khumus dari rikaz.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-‘Araby,
Ibnu, Ahkam Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2003)
Al-‘Asqalany , Ibnu
Hajar, Fath Al-Bari, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2004)
Al-Kasany, Bada’I
Ash-Shana’I, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2005)
Al-Mawardi, Al-Ahkam
As-Sulthaniyah, (Kuwait: Maktabah Dar Ibn Qutaibah, 1989)
Al-Qurthuby, Al-Jami’
li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2007)
Ar-Rafi’I, Al-‘Aziz
Syarh Al-Wajiz, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1997)
Hammad, Nazih, Mu’jam
Al-Mushthalahat Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’, (Riyadh: Ad-Dar
Al-‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamy, 1995)
Majamma’
Al-Lughah Al-‘Arabiyah Al-Idarah Al-‘Ammah li Al-Mu’jamat wa Ihya’ At-Turats
Negara Mesir, Al-Mu’jam Al-Washith, (Mesir: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauliyah,
2004)
Manzhur, Ibnu, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-‘Ilmiyah, 2005)
Saddam,
Muhammad, Ekonomi Islam Sistem Ekonomi Menurut Islam, ter. Hary Kurniawan, (Jakarta:
Taramedia, 2002)
Wizarah
Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Juz VII, (Kuwait:
Dzat As-Salasil, 1986)
Wizarah
Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Juz XX, (Kuwait:
Dzat As-Salasil, 1990)
Wizarah
Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Juz XXXI, (Kuwait:
Dar Ash-Shofwah, 1994)
Wizarah
Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Juz XXXII, (Kuwait:
Dar Ash-Shofwah, 1995)
Zallum, Abdul
Qadim, Sistem Keuangan di Negara Khilafah terj. Ahmad. S, dkk, (Bogor:
Thariqul Izzah, 2002)
[1]Ibnu
Manzhur, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2005), Cet.
I, Juz. VI, hlm. 736.
[2]Nazih
Hammad, Mu’jam Al-Mushthalahat Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’, (Riyadh:
Ad-Dar Al-‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamy, 1995), Cet. III, hlm. 86.
[3]Wizarah
Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait:
Dzat As-Salasil, 1986), Cet. II, Juz. VII, hlm. 18
[4]Ibnu
Al-‘Araby, Ahkam Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2003),
Cet. III, Juz. II, hlm. 377.
[5]Wizarah
Juz. VII, op.cit, hlm. 19
[6]Istilah
lain untuk pembagian bagi seseorang adalah radhakh yaitu pemberian harta
ghanimah yang ditetapkan oleh imam yang kadarnya ditentukan dengan ijtihad imam
tersebut.
[7]Majamma’
Al-Lughah Al-‘Arabiyah Al-Idarah Al-‘Ammah li Al-Mu’jamat wa Ihya’ At-Turats
Negara Mesir, Al-Mu’jam Al-Washith, (Mesir: Maktabah Asy-Syuruq
Ad-Dauliyah, 2004), Cet. IV, hlm. 664.
[8]Manzhur,
op.cit, Juz. VII, hlm. 406.
[9]Hammad,
op.cit, hlm. 262.
[10]Ibid.
[11]Al-Kasany,
Bada’I Ash-Shana’I, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2005), Juz. IX, hlm. 394.
[12]Ar-Rafi’I,
Al-‘Aziz Syarh Al-Wajiz, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1997), Cet.
I, Juz. VII, hlm. 345.
[13]Ibid.
[14]Ibnu
Hajar Al-‘Asqalany, Fath Al-Bari, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2004), Juz. I,
hlm. 513. Hadits nomor: 335.
[15]Al-Mawardi,
Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Kuwait: Maktabah Dar Ibn Qutaibah, 1989), Cet.
I, hlm. 177.
[16]Wizarah
Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait:
Dar Ash-Shofwah, 1994), Cet. I, Juz. XXXI, hlm. 303-306.
[17]Maksudnya
adalah tentara-tentara musuh yang tertangkap.
[18]Al-Mawardi,
op.cit, hlm. 166.
[19]Ibid.
hlm. 171.
[20]Ibid.
hlm. 177.
[21]Wizarah
Juz. XXXI, op.cit, hlm. 306.
[22]Al-Mawardi,
op.cit, hlm. 177.
[23]Ibid.
hlm. 176-177.
[24]Wizarah
Juz. XXXI, op.cit, hlm. 311-312. Untuk mendalaminya silahkan lihat kitab
Al-Bada’I, Manhul Jalil, Hasyiah Ad-Dasuqy, Nihayah Al-Muhtaj, Al-Iqna’,
Al-Mughny dan Kasyf Al-Qina’.
[25]Abdul
Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah terj. Ahmad. S, dkk, (Bogor:
Thariqul Izzah, 2002), Cet. I, hlm. 27-30.
[26]Al-Qurthuby,
Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2007), Juz. IV, hlm.
365-366.
[27]Ibid.
hlm. 366-367., pentahqiq Tafsir Al-Qurthuby ini menyebutkan bahwa QS. Al-Anfal:
1 tidak dinasakh oleh QS. Al-Anfal: 41, karena tidak terjadi pertentangan maka
bias dijama’ dengan mengatakan bahwa QS. Al-Anfal: 41 menjelaskan rincian
pembagian tentang anfal pada QS. Al-Anfal: 1.
[28]Sarayah
adalah pasukan pengintai atau rahasia. Diriwayatkan bahwa di antara tim yang
cukup dikenal adalah tim pimpinan Abdullah bin Jahsy. Tim ini diutus pada bulan
Rajab tahun kedua Hijriyah atau tahun 624 M, terdiri dari 12 orang Muhajirin.
Rasulullah SAW membekali tim inidengan sepucuk surat yang tidak beleh mereka
buka kecuali setelah perjalanan dua hari. Lalu setelah dua hari perjalanan
surat tersebut mereka buka, isinya adalah: "Jika kalian telam membaca suratku,
berjalanlan menuju Nakhlah yang terletak antara Mekkah dan Tha`if, intailah
rombongan Quraisy dan informasikan kepada kami beritanya." Karenanya
tim ini dikenal dengan Saraya Nakhlah (Tim Rahasia
Nakhlah).
[29]Wizarah
Juz. XXXI, op.cit, hlm. 312-314.
[30]Salab
adalah harta yang berada pada diri musuh yang terbunuh. Untuk mendalami
silahkan lihat Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah karangan Imam Al-Mawardi.
[31]Al-Mawardi,
op.cit. hlm. 178.
[32]Ibid.
hlm. 178-179.
[33]Hadits
yang pertama adalah riwayat Abu Daud dari Majma’ bin Jariyah, Ibnu Hajar
mendhaifkan isnad hadits ini. Sedangkan
hadits yang kedua juga riwayat Abu Daud dari Abu Amrah, dan dalam isnadnya
adalah jahalah.
[34]Wizarah
Juz. XXXI, op.cit, hlm. 306.
[35]Ibid.
hlm. 310.
[36]Manzhur,
op.cit. Juz. I, hlm. 131-132.
[37]Hammad,
op.cit. hlm. 270. Ada juga yang mendefenisikan fai dengan kembalinya seorang
suami untuk menggauli istrinya setelah dia bersumpah atau berjanji untuk tidak
menggaulinya.
[38]Al-Mawardi,
op.cit. hlm. 161.
[39]Muhammad
Saddam, Ekonomi Islam Sistem Ekonomi Menurut Islam, ter. Hary Kurniawan, (Jakarta:
Taramedia, 2002), hlm. 51.
[40]Wizarah
Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait:
Dar Ash-Shofwah, 1995), Cet. I, Juz. XXXII, hlm. 229-230.
[41]Ibid.
hlm. 230. Untuk pembahasan lebih lanjut lihat kitab Al-Amwal karangan Abu Ubaid
dan karangan Humaid bin Zanjawaih.
[42]Ibid.
hlm. 230.
[43]Al-Mawardi,
op.cit. hlm. 161.
[44]Wizarah,
Juz. XXXII, op.cit, hlm. 231.
[45]Al-Mawardi,
op.cit. hlm. 162-165.
[46]Zallum,
op.cit, hlm. 33-34.
[47]Al-Mawardi,
op.cit. hlm. 165-166.
[48]Wizarah
Al-Auqaf wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait:
Dzat As-Salasil, 1990), Cet. II, Juz. XX, hlm. 10-21.
[49]Hammad,
op.cit. hlm. 156.
[50]Hammad,
op.cit., hlm. 183.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar